Ini adalah perjalanan kita yang ke sekian. Setelah gunung dan desa terpencil yang kau dan aku lalui, atau sekedar menerobos kemacetan kota sembari hujan-hujanan dan tertawa riang. Ini adalah perjalanan panjang yang tanpa susunan jadwal, tanpa tahu harus naik apa dan menginap dimana. Sederhana saja. Berjalan saja. Yang penting melangkah bersama.
Banyak harapan menyertai perjalanan ini. Barisan doa dirapalkan begitu rapi. Semangat berapi-api. Jatuh bangun dan tersesat bertubi-tubi. Emosi sesaat yang kau tunjukkan di hadapanku karena kesal dengan seorang lelaki yang kerap kali menggodaku. Cemburu dan manja silih berganti. Kamu sungguh lucu sekali.
Hingga tiba saat dimana aku dan kamu mendapat kabar buruk dari keluarga di rumah. Kita harus pulang malam ini, kataku. Kamu tak mengiyakan, hanya bingung harus berbuat apa. Wajahmu menunjukkan raut tak rela bila kita harus mengakhiri perjalanan ini. Walau sedih, aku memesan tiket pulang. Malam itu juga. Dan kamu hanya mengikuti langkahku, menyeret kaki dengan malas. Menuju sebuah kota besar yang akan mengantar aku dan kamu pulang ke kota asal dengan transportasi darat super cepat bernama kereta api.
Kamu kelelahan. Tertidur di pundakku begitu lelap. Padahal aku tahu bahwa dengan posisi seperti itu sungguh tak ada kenyamanan sedikit pun yang kamu rasakan. Kepalamu pasti pegal ketika bangun. Mengingat pundakku lebih rendah dari kepalamu. Tapi matamu tetap terpejam. Semoga mimpi indah, batinku kemudian.
Kamu tertidur begitu lama. Entah memang lelah atau nyaman berada di sisiku. Aku tak tahu. Aku tak mau terlalu percaya diri. Yang aku tahu, aku bahagia bisa bersamamu, seperti ini, sesederhana ini. Terus begini, ya?
:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar