Cerita sebelumnya sila klik disini :)
Hari ketiga ospek dimulai agak siang, tepatnya pukul sembilan dikarenakan acara akan berlangsung sampai malam hari. Namun kali ini aku tidak terlambat seperti biasanya. Aku datang terlalu pagi berbarengan dengan digelarnya lapak tukang koran yang berada didepan pagar kampusku. Aku menghampiri tukang koran tersebut, sekedar ingin melihat-lihat.
"Eh, Neng.. Nyari majalah apa?" Sapa Tukang Koran, ramah.
"Apa ya, Bang? Majalah Bobo deh." Jawabku mantap. Ia terlihat seperti menahan tawa.
"Udah kuliah bacanya masih Bobo, neng?" Ia memamerkan sederet giginya sambil menyodorkan majalah Bobo yang masih terbungkus rapi kearahku. Aku meraihnya.
"Iya, Bang. Habisnya seru." Jawabku sambil membolak-balikkan halaman.
"Eh, Neng yang suka bareng si Satria, kan?" Tanya si Tukang Koran mengagetkanku.
"Kenapa gitu, Bang?" Tanyaku menyelidik.
"Iya, kasian tuh bocah. Dia abis diputusin pacarnya gara-gara malem minggu kemarin jemput kerumah pacarnya naik vespa. Eh, bokap pacarnya marah-marah. Katanya anaknya nggak pantes pacaran sama bocah yang bawanya vespa doang. Emang matre tuh ortunya. Putus deh." Beber si Tukang Koran. Aku mendengarkannya baik-baik.
"Pacarnya anak kampus sini, Bang?" Tanyaku penasaran. Jangan-jangan pacarnya itu yang sering memarahiku selama ospek berlangsung. Yang kecil, tengil dan bersuara nyaring itu! Mungkinkah?
"Iya, anak sini juga. Tapi udah lulus neng. Dulu itu Satria pacaran sama kakak tingkat. Sebenarnya sih banyak yang naksir dia. Cuma, dia emang jaim anaknya."
"Abang kok tau banget?"
"Nah, Satria itu contoh kecil orang besar tapi tetep rendah hati. Dia aslinya anak orang kaya, tapi kemana-mana malah naik vespa. Padahal dia juga punya motor gede neng. Terus dia ketua apa gitu di kampus, tapi temen-temennya tukang koran kayak abang. Makan juga nggak pernah di restoran-restoran dia mah, biasa di warteg. Sering mampir kesini dia. Kadang-kadang beli, kadang-kadang cerita doang." si Tukang Koran bercerita panjang lebar.
"Dia nggak punya pacar lagi, bang, sekarang?" Mumpung orangnya bocor, aku terus menyelidik.
"Lagi ndeketin adek tingkat katanya. Tapi abang lupa siapa namanya. Neng kali" Jawabnya dengan nada menggodaku. Aku tersipu.
"Nah itu orangnya dateng neng." Seketika aku menoleh dan menemukan sosoknya yang mengendarai vespa biru, semakin mendekat kearahku.
"Pagi, Ajeng. Pagi, Abang koran." Sapanya ramah.
"Pagi amat lu dateng?" Tanya si Tukang Koran setengah meledek. Kami tertawa.
"Eh, udah pada sarapan belum?" Tanya Satria kemudian.
"Abang mah udah tadi disuapin bini. Ajak si Neng ini aja kalau mau sarapan. Dia dateng pagi banget tadi." Tutur si Abang sambil melirikku, memberi kode kepada kak Satria.
"Gimana, Jeng? Udah sarapan belum? Aku mau cari nasi uduk nih."
"OOOOOH.. ini yang namanya AJENG!" Teriak Tukang Koran tiba-tiba, mengagetkan kami berdua. Seketika wajah kak Satria merah padam, menahan rasa malu. Aku mulai paham dengan konteks mereka.
"Apaan si? Nggak ngerti. Abang, ini uang buat majalahnya. Tujuh Ribu, kan?" Aku mengalihkan pembicaraan seraya menyerahkan selembar uang limaribu dan duaribuan.
"Eh iya, neng. Udah sana pada jauh-jauh dari lapak Abang. Abang jadi kangen masa muda. Hahahaha" Aku segera menaikki vespa biru kak Satria. Motor bergerak menjauh dari lingkungan kampus menuju tukang nasi uduk langganan kak Satria.
"Ibu, nasi uduk dua. Makan disini ya." Kata kak Satria ramah kepada seorang ibu-ibu berbadan gembul.
"Cie elaaah, si Satria bawa cewek kemariiiii.." Teriak si Ibu sambil cengar-cengir. Kak Satria hanya tersenyum dan tak menanggapi. Hari masih pagi, namun aku merasa sangat terkenal karena kak Satria. Ternyata benar kata teman-teman SMA-ku selama ini bahwa sebagian anak vespa memang menyeramkan, tapi hampir seluruh anak vespa mempunyai sikap yang ramah dan menjunjung tinggi kebersamaan. Ah, ada-ada saja.
"Yang piring ini Ibu bikinin khusus buat Neng, lauknya semur jengkol!" Kata si Ibu menyodorkan piring kearahku. Aku menelan ludah. Kak Satria tertawa terpingkal-pingkal.
"Makan aja, Ajeng. Nggak bikin mati kok!" Kata kak Satria lagi membuat mataku semakin terbelalak.
"Bo'ong Neng, itu semur kentang. Bukan jengkol. Gimana sih Neng masa nggak bisa bedain mana kentang sama jengkol." Tutur si Ibu menjelaskan. Aku menghela napas.
"Gimana, jeng nanti malem? Mau bacain surat cinta ke siapa?" Pertanyaan kak Satria membuatku tersedak nasi uduk.
"Rahasiaaaa.." Jawabku menggoda.
(Bersambung ke Part 4 bisa klik disini)
semoga endingnya menarik dan ga ketebak ya :D
BalasHapuswell done git, lanjutkan..heheh
huaaa saya paling benci disuruh bikin ending ibu. udah gitu saya gapernah bisa bikin happy ending. hehe. but i will try ^^9
BalasHapus