Jumat, 12 Oktober 2012

Kejutan (Part 4)

Cerita sebelumnya disini :)

Aku dan Rayhan menjalani hari-hari di kantor cabang Jogja dengan sikap yang sama dengan kantor Jakarta. Biasa saja dan terlihat tak begitu akrab. Aku bersikap segan layaknya seorang asisten yang berhadapan dengan Bosnya. Selama tiga hari ini kami diantar jemput oleh supir dari Kantor cabang. Rayhan melakukan tugasnya didepan komputer. Siang malam. Bahkan di kamar hotel pun seringkali ku lihat ia masih berkutat dengan laptopnya. Sementara aku menyusun laporan keuangan selama disini.

Baru tiga hari, namun Rayhan telah menyelesaikan proyeknya. Cepat sekali, batinku. Ia segera mengirim laporan ke Jakarta melaluli e-mail yang mengatakan bahwa pekerjaannya sudah selesai.

"Ras, kita udah boleh pulang nih kata si Bos. Barusan aku laporan langsung dibales." Katanya pada siang ketiga kami diruangan ini. Ruangan yang disiapkan oleh kantor cabang Jogja untuk kami, ruangan yang luasnya hampir tiga kali lipat dari kamarku. Ruangan yang memiliki tempat duduk dan meja khusus untuk atasan dan asistennya. Bukan seperti ruang receptionist yang mejanya besar sampai-sampai tubuh mungilku tak kelihatan ketika aku duduk.

"Mau langsung pulang?" Tanyaku singkat. Aku bahkan sudah tau jawabannya sebelum aku bertanya.

"Iya, kamu ikut pulang apa mau disini aja?" Tanyanya kemudian.

"Sehari aja temenin aku ke pantai. Please..." aku memelas.

"Kemana? Parangtritis? Aku nggak suka pantai Parangtritis. Norak" aku tersentak mendengar jawabannya.

"Terus?"

"Sore ini kita pamitan sama temen-temen disini. Pulang dari sini kita cari tempat penyewaan motor. Aku mau ajak kamu ke tempat yang lebih indah dari pantai." aku manggut-manggut mendengar penjelasannya.

============================

Aku terdiam memegang erat pinggangnya. Ia mengendarai motor perlahan-lahan hingga melewati batas wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat. Perjalanan semakin menanjak, meliuk-liuk. Gunung Kidul, batinku. Hari semakin malam, dan ia tak kunjung menghentikan motor. Aku takut dan berpikir macam-macam. Jangan-jangan aku mau dibuang di hutan.

"Kok diem aja?" tanyanya setengah berteriak. Aku tak menjawab

"Bentar lagi kita nyampe kok" Dan tak lama kemudian ia memarkirkan motornya di sebuah warung kopi. Aku turun dari motor lalu melepaskan helm, memandangi sekeliling.

"Jauh-jauh kesini cuma mau ke warung kopi?" teriakku setengah memaki.

"Berisik kamu!" Rayhan menyeretku, kemudian duduk lesehan di warung tersebut.

Aku mengamati pemandangan di bawah warung ini. Warung yang berdinding bilik bambu, namun tak sampai atap. Ya, dindingnya hanya setengah sehingga kita dapat melihat sekelilingnya. Dan dibawah sana, terdapat jutaan cahaya, lampu-lampu di kota Jogja dan sekitarnya. Sementara diatas sana, bintang-bintang tak mau kalah berlomba-lomba menyinarkan cahayanya. Berkelap-kelip, menari-nari mengelilingi Sang Purnama.

"Cantik..." aku menggumam tanpa sadar.

"Ini namanya bukit bintang." seketika aku menoleh padanya. Mataku berbinar.

"Citylight.." ucapku pelan.

"Iya, lebih lengkap lagi kalau disini ada fireflies, kunang-kunang." Aku masih terpana sambil memandangi jutaan lampu dibawahku. Sampai pesanan soto kami berdua tiba. Ia makan dengan lahap.

"Kamu kenapa besok mau pulang?" tanyaku membuatnya sedikit terbatuk. Ia meraih gelas dan meminum isinya.

"uhuk. Lusa.. Aku.. Ulangtahun.." Jawabnya ragu-ragu.

"Oh ya?" Dan akhirnya aku baru tau kalau dia punya tanggal lahir. Ku kira orang seperti ini lahir dari batu, seperti Raja Kera Langit, Sun Go Khong.

"Iya.. aku mau rayain ulangtahun dirumahku. Kamu datang ya." Ia tersenyum.

"Aku pasti datang Ray, aku mau kasih kejutan buat kamu!" kataku riang. Ia melebarkan senyumnya.

"Aku tunggu kedatanganmu." Matanya tajam menusuk tepat di hatiku. Deg. Cinta? Benarkah ini benci jadi cinta? Oh Cupid, aku benci kamu. Kenapa kamu menancapkan panah asmara pada saat yang tak tepat? Kenapa harus Ray?

Kami bercerita ngalor ngidul. Tawa renyahnya terdengar tak asing lagi di telingaku. Malam semakin larut, ia mengajakku pulang. Menuntunku sampai parkiran motor, layaknya sepasang kekasih. Tapi apa daya, kami bukan pasangan seperti itu.

Motor berjalan pelan menuruni Gunung Kidul, aku merosot dari dudukku hingga tubuhku menyatu dengan tubuhnya. Jantungku berdebar tak karuan. Sesekali helm-ku menabrak helmnya.

"Kamu ngantuk? Kamu tidur aja. Besok jam 8 kita harus udah sampe bandara" 

Aku hanya mengangguk dan menyandarkan kepalaku di bahunya. Ku lingkarkan tanganku di perutnya. Aku lebih terlihat seperti memeluknya dari belakang.

"Aku sayang kamu, Ray.."  ucapku lirih, lirih sekali. Sampai-sampai telingaku sendiri tak mampu mendengarnya.

Seketika tangan kiri Ray menyentuh tanganku, menggenggamnya, hangat. Diantara hembusan angin gunung dan ribuan cahaya yang mengelilingiku, aku tertidur sambil memeluknya. Purnama tersenyum iri melihatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar