Kamis, 09 Oktober 2014

Bukan Cinta Sesaat

Perahu nelayan mulai menjauh dari daratan. Sepotong jingga menghiasi langit di atas kepalaku. Tak hanya itu, bulan sabit juga turut menemani pergantian hari yang panjang dan melelahkan ini. Aku tak tahu, sampai kapan aku harus berpura-pura tidak menaruh hati padanya, seorang lelaki yang dengan mudahnya terlelap berbantalkan kusen kapal, di tengah arus muara sungai yang mulai pasang dan membuat kapal semakin bergoyang tak karuan. Aku memandangi wajahnya. Mendadak kepalaku pusing dan perlahan tanganku refleks memijat kening.

"Kenapa? Mabuk?" Tanyanya dengan tatapan syahdu. Ia kerap kali memandangku seperti ini. Namun aku tetap tidak percaya dengannya. Semua lelaki sama saja, manis di awal. Dasar pembual.

"Nggak tahu. Aku belum makan. Memang suka begini." Jawabku jujur. Raut khawatir terlintas di wajahnya. Sejurus kemudian, lengan kanannya menyelinap melewati punggung, meraih bahuku. Aku tergagap memandang wajahnya. Kini, aku dan ia berjarak hanya sebatas hembusan nafas saja. Merasa canggung dilihat oleh penumpang lain di kapal, aku menundukkan kepala dalam-dalam, tepat di bahunya. Aroma tubuhnya menyeruak masuk ke dalam jantungku yang semakin melompat-lompat. Namun di sisi lain, zat feromon dari tubuhnya menstimulasi pikiranku. Semacam candu, ia benar-benar adiktif dan membuat diriku melayang ke nirwana.

"Tidur saja. Perjalanan kita masih lama." Suaranya terdengar pelan karena degup jantungnya yang terdengar seperti dentuman yang meletup-letup di telingaku. Tangannya yang tadi meraih bahuku, kini mengelus kepalaku lembut. Memastikan bahwa aku benar-benar nyaman di sisinya.

"Kamu nggak pegal?" Tanyaku ragu. Ia menggeleng pelan, dan kembali melengkungkan senyuman. Aku tertidur karena mabuk. Mabuk laut sekaligus mabuk cinta.

***

"Kita belum sampai?" Tanyaku sambil mengucek kedua mata. Satu jam aku tertidur di bahunya. Satu jam pula ia hanya tidur berbantalkan kusen kapal yang keras itu. Hari sudah benar-benar gelap. Namun, hey! Lihatlah! Langit terang benderang dihiasi gemerlap bintang yang mengerling centil. Bulan sabit juga tak mau kalah mengejekku yang masih saja gengsi mengungkap perasaan kepada lelaki di sebelahku.

"Belum. Langitnya indah, ya..." Ia melonggarkan rangkulannya. Kami duduk bersebelahan dalam diam. Padahal ombak sudah mulai tenang, namun kami malah semakin canggung.

Iya, langitnya indah.
Akan lebih indah lagi bila hati kita terpaut di sini.
Di tempat seindah ini.

Batinku, dalam hati. 

"Nda.." Gumamnya pelan, persis di telingaku. Alih-alih menyahut, aku malah melontarkan pandangan ke seluruh penjuru kapal bermuatan tiga puluh orang. "Aku sayang kamu, Nda.."

Seketika pertahananku jebol. Perasaanku roboh. Tatapan matanya membuatku terseret pusaran arus cintanya yang begitu besar. Mulutku menganga menyadari betapa alam pun turut berkonspirasi mengabulkan doa singkatku beberapa menit lalu. Namun aku tidak boleh goyah. Siapa tahu perasaannya hanya sesaat. Sungguh aku tidak mau cinta yang hanya sesaat. Aku percaya, segala sesuatu yang sulit didapat, pasti akan sulit dilepaskan begitu saja.

Dan ia, juga tidak kunjung meminta jawaban atas perasaannya.

"Tidak semua perasaan harus dikatakan saat itu juga, bukan?" Jawabku terbata. Disusul segenap sesal yang memburu dada. Ia pasti kecewa dengan jawabanku. Ia pasti tidak akan dekat denganku lagi. Ia pasti menyesal telah berkata demikian. Ia pasti...

"Aku akan menunggu."

Ya, semoga kamu kuat menungguku.
Menunggu cinta yang tidak hanya sesaat saja.
Tapi cinta yang membuatmu bertahan dan tidak meninggalkanku dengan mudahnya.
Seperti ia, yang telah lalu.

2 komentar:

  1. huhuuu sedih bahagia kalo inget ini yang :')))
    i love you :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. kok bisa nemu postingan iniiiii :')))
      love you too :'

      Hapus