Rasanya malas ketika mendengar kata Ospek. Dibentak-bentak, gerak cepat, senioritas, huh menyebalkan. Hari ini adalah hari pertamaku di Kampus Biru. Sebuah kampus swasta yang terletak dibilangan Jakarta Timur. Aku mengikuti program reguler dan diterima di fakultas Sastra, tepatnya di jurusan sastra indonesia. Sudah impianku dari dulu menjadi tukang sajak atau bahasa kerennya, sebut saja penyair.
Aku berangkat pagi sekali. Sesuai jadwal yang telah ditentukan, hari pertama ospek, seluruh mahasiswa baru diwajibkan berkumpul di aula kampus pukul 6 pagi untuk mengikuti upacara pembukaan. Rumahku terletak ditengah-tengah Kota Bekasi, tepatnya didaerah alun-alun kota. Aku berangkat ke Kampus dengan menaikki kereta pertama dan turun di jatinegara. Selanjutnya aku menaikki mikrolet sampai depan kampus.
Suasana kampus pagi itu ramai sekali, aku takut terlambat. Terlebih lagi aku mahasiswa baru yang kalau telat datang bisa saja malah jadi incaran kakak tingkat untuk dihabisi ketika ospek. Aku berlari menuju aula yang aku sendiripun tak tau dimana letaknya, aku hanya mengikuti kemana arahnya orang-orang yang berseragam sama denganku saja, yaitu putih abu-abu. Dan bodohnya, aku tak melihat kanan kiriku, sebuah motor melaju kearahku. Aku terbelalak kaget. Ban motor tersebut menabrak tulang keringku. Aku terjatuh.
"Aww.." aku merintih. Kulihat sosok lelaki turun dari motornya. Motor jenis vespa classic berwarna biru. Ia menyetandarkan vespanya kemudian menghampiriku.
"Sori, gue nggak liat lo nyeberang. Lagian ngapain lo lari-lari di parkiran?" tanyanya sambil mencoba membuka sepatu kananku.
"Oh, ini parkiran ya? pantesan banyak motor." jawabku lugu. Ia tertawa mendengar perkataanku.
"Lo maba ya? Nama lo siapa?" Tanyanya lagi. Kali ini ia mulai memijit-mijit bagian kakiku yang terlihat memar kemerahan.
"Iya kak. Aku Ajeng kak, anak sastra." Jawabku sambil merintih kesakitan.
"Gue Satria, Tehnik Industri semester lima. Yuk gue anter ke aula.Udah telat kayaknya." Ajaknya sambil membereskan sepatuku. Kemudian memarkirkan vespa birunya dan memapahku berjalan sampai aula. Aku terdiam disebelahnya.
"Kaki lo masih sakit gak? kalo masih sakit nggak usah ikut kegiatan dulu, biar diobatin seksi kesehatan dulu." Tanyanya mengkhawatirkanku.
"Nggak usah kak, nggakpapa. Aku takut kena bentak kakak-kakak itu karena dapet dispensasi dari kakak." Jawabku sambil menatap kakak tingkat yang sedaritadi memerhatikan kami yang terus saja berdua.
"Lo tenang aja, gue ketua BEM disini. hehehe. Yaudah, gue tinggal dulu ya." Ia meninggalkanku dengan setengah berlari menuju kerumunan kakak-kakak penyelenggara ospek. Beberapa diantara mereka bersiul-siul menggoda, namun sebagian diantaranya, terutama perempuan, sibuk menatapku dari kejauhan. Antara tatapan iri dan sok senioritas. Entahlah.
Selama acara dimulai, aku jarang memerhatikan siapapun yang memberi sambutan atau pengarahan. Pikiranku masih terbayang-bayang kecelakaan tadi pagi. Ketika vespa biru kak Satria menabrak tulang keringku. Ahh, itu namanya bukan menabrak, lebih tepat bila disebut mencium. Ya, ban motornya mencium tulang keringku. Aku senyum-senyum sendiri.
"Ngapain kamu senyum-senyum, Dek? Emang daritadi kakak-kakaknya ngelawak? Mana coba saya lihat catatan kamu!" Bentak seorang kakak tingkat tepat didepan wajahku. Perempuan bertubuh kecil, wajah paspasan dan bersuara nyaring. Aku sibuk memberi penilaian.
"Kenapa kamu diem, Dek?!! Kamu BISU ya!!!" Bentaknya lagi.
"Cat.. Catatan apa, Kak?" tanyaku terbata-bata.
"Nih, kak. Adek Ajeng yang tadi dateng-dateng bareng Kak Satria nggak nyatet keperluan apa aja yang harus dibawa besok nih Kak!" Teriak kakak tingkat dihadapanku mengompor-ngompori teman-temannya. Seorang kakak tingkat, perempuan lagi, berjalan menghampiriku dengan wajah sangar yang dibuat-buat.
"Oooooh, ini adek tingkat yang keganjenan mau ngegebet kakak tingkat! Lihat ni adek-adek, udah keganjenan, males nyatet, jangan ada yang kasih dia pinjeman catetan! Biar tau rasa dia!" Seluruh mata mengarah kepadaku. Beberapa pasang mata menatapku dari atas kebawah, beberapa lagi tersenyum sinis, namun ternyata masih kutemukan beberapa pasang mata yang menataku iba. Wajahku terasa panas. Sementara tak kutemukan sosok kak Satria di kerumunan orang-orang penting. Aku butuh pahlawan kesiangan!
***
Aku pulang sendirian. Sengaja aku berjalan kaki menuju stasiun yang akupun tak tau berapa jaraknya. Aku malas cepat-cepat sampai rumah. Beruntungnya tadi aku sempat dipinjami catatan oleh teman SMA-ku yang ternyata satu kampus denganku. Biarlah, paling besok sama saja. Sama-sama dibentak-bentak, dicari-cari apa kesalahanku, dan lainnya. Terutama kakak-kakak perempuan, mereka pasti akan menghabisiku karena aku telah dekat dengan ketua BEM. Dasar orang-orang sirik!
Pikiranku semakin kacau ditambah lagi motor-motor yang berseliweran seenaknya diatas trotoar. Sesekali aku diklakson, dan sudah beberapa kali lenganku tersenggol spion dari motor-motor brutal itu. Aku mengumpat sejadinya. Dari bahasa jawatimur-an sampai bahasa ke-inggris-an.
Aku berjalan pelan sambil menendang-nendang sampah bekas minuman kaleng. Menendangnya, lalu kuhampiri. Kutendang lagi, lalu kuhampiri lagi. Baru saja mau kutendang lagi, tiba-tiba suara klakson motor kencang sekali mengagetkanku. Aku tersandung kaleng, dan terjatuh dipinggir jalan. Beberapa oarang tertawa kecil melihatku.
"Lo itu emang bakat banget jatuh ya!" Teriak seseorang setelah membuka kaca helmnya, Satria. Ia turut menertawakanku.
"Kakak.." aku cemberut sambil berusaha bangkit.
"Rumah lo dimana? Gue perhatiin daritadi lo jalan kok ngomong sendirian ya? hahaha" tanyanya sambil masih menertawakanku.
"Bekasi kak." Aku menepuk-nepuk rok abu-abuku. Sial! Aku ketauan suka mengoceh sendiri. Huh.
"Bekasinya mana? Gue juga Bekasi, daerah proyek."
"Alun-alun kak." Jawabku penuh harap bahwa iya mau mengantarku.
"Oh yaudah yuk bareng. nih gue bawa helm dua." Ajaknya sambil menyerahkan helm kepadaku. Aku kikuk menaikki motornya. Baru pertama kali aku dibonceng naik vespa. Aku bingung meletakkan kakiku dimana, karena tak kutemukan satupun pijakkan kaki.
"Kakinya didepan ajeng, masa kaki lo ngatung gitu, entar keserimpet ban nyaho' lo!" aku menuruti perintahnya dan terdiam selama perjalanan. Dan seperti biasanya, aku masih saja senyum-senyum sendiri.
bukan pengalaman pribadi nih gete? hehe
BalasHapuswkwk gue paling gabisa bikin cerita cinta gue sendiri mas ami. uangel :D jatohnya jadi kayak curhat di diary deh --"
BalasHapus