Tik Tok Tik Tok
Jarum jam terus bergerak mengejekku. Berputar-putar mengitari angka-angka dari satu sampai duabelas. Aku duduk termangu dibangku stasiun. Sambil sesekali berdiri dan melongok-longok kearah pintu masuk. Sudah satu jam, dan ia tak juga datang.
Tik Tok Tik Tok
Kedatangan pertamaku kekotanya. Solo, sebuah kota dengan tata letak yang sempurna. Dengan Pak Walikota yang ramah terhadap sesama, dengan masyarakat yang selalu tersenyum tanpa asa.
Aku mengenalnya setahun lalu, dikotaku, Bandung. Diakhir tahun ajaran tiba-tiba ia mengajakku berkenalan, saling berteman, sampai akhirnya jadian. Tapi masa-masa indah hanya kami lalui selama sebulan pertama. Setelahnya, ia tak pernah menganggapku. Terlebih lagi setelah lulus ia kembali kekotanya.
"Kamu dimana?" Sekali lagi kukirim pesan singkat ke nomor ponselnya. Ini pesan singkat ke-12 yang berisi dua kata yang sama, dan hasilnya pun sama. Tak ada satupun balasan yang mendarat di ponselku. Hari semakin malam. Malam semakin larut.
Tik Tok Tik Tok
Anak-anak kecil berkejaran, berebut mainan, ada pula yang menjajakan jualan. Tata bahasa yang mereka gunakan halus sekali, dan aku tak mengerti sama sekali.
"Gagah.." desisku pelan melihat seorang pria berjalan melalui pintu masuk, dan kemudian membeli tiket di loket. Namun, siapa wanita disebelahnya?
Aku segera menyulap sapu tangan menjadi masker. Mengikat keduabelah sisinya di kepala bagian belakang. Tak lupa kukenakan kacamata. Gagah dan wanita disebelahnya berjalan pelan ke koridor tempatku menunggu sejak tadi. Tak lama kereta datang dan wanita itu naik. Gagah meraih ponsel dari saku celananya, memencet-mencet tombolnya, dan ponselku berdering. Aku melepas sapu tangan dan kacamataku.
"Kamu dimana?" Tanya Gagah, mesra. Aku berjalan kearahnya, dan berada tepat dibelakangnya.
"Aku dibelakangmu" Jawabku singkat seraya mematikan telefon.
"Hai.." Sapa Gagah hendak memelukku. Aku menghindar.
"Tadi siapa?" tanyaku pelan.
"Mantanku. Dia mau ke Jogja. Tadi minta aku anterin." Jawabnya santai seraya merangkulku. Tanpa sedikitpun merasakan kecemburuan yang menyelimuti batinku. Aku berjalan disampingnya, masih dengan rangkulan yang sama, masih dengan aroma tubuhnya yang sama.
"Aku udah empat jam nungguin kamu." suaraku mulai meninggi.
"Kamu tuh kenapa sih? Dateng-dateng malah marah-marah! Kamu tuh terlalu banyak nuntut! Nggak kayak mantanku yang mau nerima aku apa adanya! Nggak kayak mantanku yang nggak pernah marah-marah atau ngatur-ngatur kebiasaanku!" Suaranya terdengar lebih tinggi. Ia melepas rangkulannya sejak tadi.
"Pacaran aja sana sama mantanmu! Dia nggak pernah nuntut karena kebutuhannya selalu kamu penuhin! Sementara aku? Ribuan kali aku sms tapi kamu bales cuma sekali. Ribuan jam aku nungguin kabarmu, tapi kamu nggak pernah sedikitpun peduli sama keadaanku. Dan sekarang, aku bela-belain dateng kekotamu, tapi kamu tetep ngejadiin mantanmu sebagai prioritas utama! Kita selesaiin aja semuanya disini! Percuma satu tahun aku pacaran sama angin!" Aku mencak-mencak tanpa peduli dengan tatapan orang-orang disekelilingku.
"Bukan gitu Rona, maksud aku biar kamu bisa banyak belajar dari mantanku." Ujarnya melunak seraya menatapku dalam. Tatapan mata yang selalu saja mengalahkan amarahku. Tatapan mata yang meyakinkanku untuk menjawabnya dengan sebuah anggukan. Ia menuntunku menuju mobilnya. Membukakan pintu untukku, kemudian mempersilakanku masuk. Aku terlalu lelah, dan memilih tertidur menatap jalanan.
***
"Sayaaang.. Banguuun.." Aku menggoncang-goncangkan bahunya manja. Ia menggeliat di Sofa ruang tamunya.
"hmmmm... masih ngantuk" Jawabnya seperti orang kumur-kumur. Kuciumi pipinya sambil mengelitikki perutnya. Ia terjatuh dari sofa. Aku tertawa.
"Jahat.." Ia mencoba bangun dan duduk sambil mengusap-usap matanya. Aku meninggalkannya menuju dapur. Membuat sarapan untuknya. Makanan kesukaannya, nasi goreng sosis dan omelett. Serta menu sarapan wajibnya, secangkir kopi susu. Sudah lama sekali aku tak membuatkannya sarapa seperti ini. Aku tersenyum mengingat-ingat kegiatan rutinku setiap pagi ketika ia masih tinggal di sebuah rumah Kost di Bandung dulu.
"Bikin apa sih, wangi bangeeeet." Teriaknya dari ruang tamu. Kulongok sebentar, ternyata ia kembali lagi ke sofa empuknya. Kulanjutkan acara memasakku. Namun tiba-tiba terdengar langkah kaki mendekatiku. Ia memelukku perlahan, dari belakang. Kemudian menciumi pipiku sambil sesekali mengelitiki pinggangku dengan kedua tangannya yang masih saja memelukku.
Aku menyiapkan sarapan pagi dengan sigap. Kami makan berdua di teras rumahnya. Saling bercanda, saling tertawa, sampai saat ponselnya berdering tanda pesan singkat masuk. Ia membacanya dalam diam. Aku menatapnya penasaran.
"Mantanku minta dijemput. Dia udah pulang dari Jogja. Aku tinggal dulu ya sebentar." Ujarnya terburu-buru sambil meletakkan piring nasi gorengnya dan tanpa sedikitpun menyentuh gagang cangkir kopisusunya. Aku bahkan tak diberi kesempatan untuk berkata-kata. Ia mengambil kunci mobilnya dan pergi meninggalkanku. Aku duduk termangu.
***
Ia datang ketika hari hampir petang. Aku menikmati senjaku sendirian sambil menikmati angin sore di alun-alun surakarta. Aku pulang sambil membawa bungkusan yang berisi makanan yang juga kesukaannya, bebek Haji Slamet yang terkenal itu.
"Darimana kamu?" tanyanya sinis mendapatiku baru tiba ketika adzan maghrib berkumandang. Seharusnya yang bertanya 'darimana kamu' kan aku. Harusnya pertanyaan itu yang kulontarkan padanya! Aku tau kalau ia baru saja tiba dirumahnya. Aku melihat mobilnya ketika baru masuk kedalam pagar tadi. Aku kan jalan-jalan disekitar sini. Tentu saja aku dapat melihatnya.
"Nih, aku belikan kamu makanan." Ujarku riang menyembunyikan kekesalanku.
"Nggak usah, Aku tadi udah makan sama mantanku." Ucapnya seraya mengibaskan tangannya dari bungkusan makanan yang kuberikan. Aku tercekat. Mataku panas. Air mata meleleh membasahi pipiku.
"Kamu ngapain sih, kok malah nangis?" Suaranya tiba-tiba meninggi.
"Aku nggak ngerti sama kamu! Kamu selalu aja mbanding-mbandingin aku sama mantanmu! Dari dulu aku bilang, Pacaran aja sana sama mantanmu! Lihat aku, Mas... Lihat aku. Aku ini pacarmu! Yang kalau kamu bisa jaga perasaan dan hubungannya bisa jadi istrimu! Aku bisa jadi masa depanmu! Sementara kamu terus aja sibuk sama masa lalumu!" Aku menangis sejadinya. Airmataku tumpah ruah.
"Terserah kamu! Aku capek sama kamu!" Ucap Gagah tiba-tiba. Tangisku semakin meledak.
"Makasih, mas. Aku minta putus! Aku pulang ke Bandung sekarang! Kita selesaiin semuanya disini! Terimakasih selama setahun ini!" Bungkusan makanan bebek Haji Slamet terlepas dari genggamanku. Aku menyiapkan tas ranselku dan segera pergi dari rumahnya. Mencegat tukang ojek untuk mengantarku ke Stasiun.
Di Stasiun, aku masih menangis. Langit tak mau kalah, gerimis tipis dan suara petir bersahut-sahutan dengan adzan Isya'. Sementara diujung sana, Gagah menerobos hujan yang mulai deras untuk mengejarku. Kereta tujuan Bandung tak begitu lama. Aku menaikinya dan duduk disebelah jendela. Hujan semakin deras. Ketika kereta mulai berjalan, aku melihat sosok pria yang berlari dengan pakaiannya yang basah kuyup. Ia berusaha menggapai keretaku, namun kereta melaju semakin cepat, semakin cepat meninggalkan serpihan hatiku yang ia patahkan di kota ini, semakin cepat meninggalkan semua kenangan yang telah kita jalin selama setahun ini. Dan malam ini, tepat malam ini adalah malam satu tahunku dengannya. Dan malam inilah yang menjadi tujuan utamaku datang kekotanya.
***
Kepala Gagah terasa berat. Ia membuka matanya perlahan. Hari sudah semakin siang, dan sampai sesiang ini tak ada satupun ucapan selamat pagi yang mendarat di ponselnya. Tak ada lagi nasi goreng sosis dan omelette serta secangkir kopi susu buatan Rona, pacar setahunnya.
Gagah merasa pusing, ia meletakkan punggung tangan ke keningnya. Ia demam. Namun tak ada lagi yang mengingatkannya minum obat ketika ia demam atau vertigonya kambuh. Gerimis lagi-lagi datang. Namun kali ini, gerimis kecil itu berasal dari sudut matanya, mengenang Rona, pacar setahunnya.
indah...
BalasHapustahapan alur mulai beriak...sambut gerimis (konflik) hingga tumpah hujan lebat
masih kuatkah langkah Gagah mengejar Rona yg membayang d belakang kereta?
suwun pak'eee..
BalasHapustapi ini cerita udah usai, nggak bersambung kayak biasanya. sengaja dipangkas. hehe
wah...pdhl penikmat merasa melanjutkan ceritanya sendiri lho...
BalasHapusGagah masih sanggup berjalan menyusuri jejak Rona
ibu baru baca blog ini...and ini cerita kedua yang selesai dibaca..
BalasHapustoo short..padahal udah mulai tertarik sama alur ceritanyaa..tapi ttp sukaa :D
bukan guru bahasa apalagi ahli sastra tp dari pandangan penikmat cerita, this one is good enough..salute!! :D
AAAA IBUUUUUU ikutan komeeeeeen :D
BalasHapusMakasih ibuuu, baca yang lainnya juga yaaa, mohon komentarnya :)