Cerita sebelumnya klik disini :)
Kami tiba di Terminal Baranangsiang pukul 7 pagi. Dewi kelihatannya sudah sering sekali ke tempat ini. Ia tak seperti perempuan lainnya yang kelihatan takut atau linglung bila bepergian seorang diri. Kami berjalan beriringan. Kali ini Dewi yang jadi Tourguide, aku hanya mengikutinya.
"Kamu mau ngapain ya ikut aku?" Tanyanya mengejutkan.
"Pengen tau apa itu At-Ta'awuun" jawabku sekenanya.
"Udah 2 tahun di Sukabumi bukannya keliling Bogor." Ucapnya dengan nada meremehkan.
Ia berjalan cepat sekali. Sangat cepat untuk ukuran gadis berpostur tubuh mungil seperti ini. Kemudian ia masuk kedalam sebuah angkot berwarna biru, aku mengikuti dan duduk didalamnya.
"Aku belum pernah ke Cisarua naik angkot." Tuturnya membuat mataku terbelalak.
"Lah terus? Kalo kita nyasar gimana?" tanyaku panik.
"kalo nyasar ya tanya tukang ojek." jawabnya enteng.
"Emang biasanya naik apa?" Tanyaku lagi, tapi kali ini terdengar santai.
"Naik bus Doa Ibu atau Karunia Bhakti dari Kampung Rambutan." jawabnya sambil menunjuk sebuah bus yang melintas di sisi kanan angkot yang kami naikki.
"Terus kenapa tadi naik dari Bekasi ke Baranangsiang?" aku semakin heran.
"pengen nyoba aja. Toh aku jadi ketemu kamu kan?" ia berkata sambil melihat pemandangan di luar jendela.
Perjalanan terus menanjak. Dalam waktu sepagi ini belum banyak kendaraan yang naik ke Puncak. Sepanjang jalan kenangan, hamparan kebun teh memanjakan mata. Rumah-rumah penduduk tersusun rapi dari atas sini. Dan udaranya, Ah aku rindu udara ini! Selama liburan di Bekasi, aku tak merasakan udara ini sama sekali. Bogor berkabut. Matahari malu-malu untuk keluar dari tempat persembunyiannya.
Aku mengamati gadis kecil ini. Wajahnya terlihat muram, tak seperti biasanya. Pandangannya kosong seperti menyembunyikan sesuatu. Ia tak tersenyum sama sekali sejak pagi tadi. Aku melihatnya membuka tas dan hendak mengambil uang.
"Aku aja yang bayar" Ucapku tiba-tiba. Ia hanya menoleh dan memasukkan lagi uangnya ke dalam tas. Terdengar ia menghela nafas seperti orang yang menyembunyikan kekesalannya.
"Eh, emang berapa bayar angkotnya?" Tanyaku lagi sambil nyengir. Bagaimana sih aku ini, sudah tau tak pernah kesini, malah menawarkan diri untuk membayari segala.
"Nggak tau aku juga." Jawabnya singkat. Oh ya! Aku lupa, bahkan ini pertama kalinya Dewi naik angkot ke Puncak, ia kan biasa naik bus. Aku memijat keningku.
"Di handap masjid agung stop pinggir ya 'a" katanya setengah berteriak dengan logat sunda. Aku baru tau kalau dia bisa bahasa sunda.
Dewi turun, aku membuntutinya. Ku serahkan selembar uang duapuluhribuan kepada sang supir.
"Sapuluh lagi 'a" Kata sang supir mengejutkanku. Aku bingung. Masa kurang sih?
"Dari bawah ke atas saorang sabaraha 'a?" Tanya Dewi kemudian.
"Limabelas neng. Disamain itu juga teu dilebih-lebihkeun" Tiba-tiba Dewi menyerahkan selembar uang sepuluhribuan dengan cepat. Aku hanya mematung seperti orang bodoh.
"Mahal amat, limabelas ribu dari rambutan naek do'a ibu udah sampe sini! Ini cuma dari bawah ke atas juga limabelas! Gak sebanding!" Teriak Dewi setengah memaki sambil menatap angkot yang telah melaju kencang meninggalkan kami berdua di depan masjid. Sejak pagi tadi, baru saja ia mengucapkan kalimat sepanjang ini.
Oh, ini dia Masjid At-Ta'awuun.
Bangunan masjid ini tidak tergolong megah. Jauh sekali jika dibandingkan dengan Istiqlal atau kubah emas. Namun, kombinasi bangunan yang sederhana, penataan taman dan kolam yang indah di sekitar masjid, serta lokasi yang luar biasa indah membuat masjid ini menjadi spesial.
Dewi menyeberang dan berjalan menuju area masjid. Aku menoleh ke kanan. Memasuki tempat parkir, deretan warung makan khas Puncak akan menyambut. Dari area tersebut ada tangga yang cukup tinggi menuju area masjid. Sebenarnya terdapat dua pintu masuk yang sama-sama dilengkapi area parkir, namun mayoritas pengunjung lebih memilih masuk dari sisi bawah masjid. Berbagai macam oleh-oleh khas puncak juga dijajakan di sepanjang tangga.
Saat sampai di bagian atas tangga, tampak hamparan taman indah dengan pemandangan perbukitan yang sangat menyegarkan. Taman tersebut merupakan area halaman masjid. Di sini juga terdapat kolam dangkal dengan air semata kaki yang melingkari bangunan masjid. Pengunjung yang akan masuk masjid harus melewati kolam tersebut, sehingga kaki mereka otomatis terbasuh air dingin yang mengalir di kolam. Kolam yang mengelilingi masjid ini merupakan simbol untuk menyucikan diri sebelum memasuki rumah Allah.
Di belakang masjid terlihat sungai yang dibentuk menyerupai air terjun kecil. Sungai tersebut berasal dari mata air yang konon tidak pernah habis. Uniknya, saat musim kemarau air yang dihasilkan tetap banyak dan lebih jernih. Sungai ini jugalah yang mengaliri air ke kolam yang mengelilingi masjid.
Dewi meninggalkan aku, ia masuk ke tempat wudhu wanita. Aku masih mengamati masjid ini. Bangunan masjid juga tergolong unik dengan bentuk kubah yang menyerupai jamur. Di dalamnya, suasana alami langsung terasa karena penggunaan material kayu jati sebagai lantai masjid. Kayu tersebut dapat cepat menyesuaikan diri dengan suhu lingkungannya serta membuat ruangan menjadi sejuk namun tidak terlalu dingin.
Teknis pemasangan lantai kayu tersebut pun cukup unik. Terdapat ruang kosong sedalam kurang lebih 50 cm di antara dasar tanah dan lantai kayu. Selain untuk menghindari kelembapan dan serangan rayap, teknik ini juga terbukti tepat untuk mencegah hawa dingin kawasan Puncak menembus ke dalam masjid.
Di bagian depan ruang utama terdapat mihrab yang juga terbuat dari kayu. Mihrab ini dihiasi dengan kaligrafi QS. At-Taubah: 3. Ruang utama sendiri terdiri dari dua lantai. Lantai atas digunakan khusus untuk wanita. Seketika Dewi keluar dari tempat wudhu dan menapaki tangga ke lantai atas. Mungkin ia shalat dhuha', batinku. Aku sibuk foto-foto.
Cukup lama aku menunggu Dewi melakukan rutinitasnya. Aku memandangi kota Bogor dari atas sini. Saat ini baru pukul 9 dan matahari terasa hangat menyentuh kulit hitamku.
"Nggak dhuha'?" Tanyanya mengejutkanku. Tiba-tiba ia sudah di belakangku saja.
"Eh, nggak." Jawabku malu.
"Ke atas yuk." Suaranya kembali seperti dulu. Terdengar riang dan memanjakan telinga. Dan setelah menunggu dari pagi, akhirnya, aku diajak!
"Ke atas mana? Ini bukannya udah di atas?" tanyaku bingung. Kemudian ia mengarahkan tangannya ke sebuah bukit yang lebih tinggi dari tempat kami berpijak. Ia menunjuk tepat di sebuah spot. Terlihat beberapa orang yang terjun payung dari atas sana.
"Jauh banget. Naik apa?" Tanyaku lagi.
"Tuh, Kita naikkin tangga-tangga itu. Keliatan kan?" Ia menunjuk sebuah jalan setapak yang membelah hamparan kebun teh. Ternyata jalanan tersebut dapat dilalui. Aku membayangkan sepertinya lelah sekali menapaki tangga-tangga tersebut sampai keatas bukit. Tracknya panjang sekali!
Ia kemudian menyeret lenganku. Aku tersenyum dan merasakan panas di pipiku. Malu.
***
"Gilaaaaa, keren bangeeeeeeeet!" Teriakku tanpa sadar. Panorama Puncak dari spot paralayang adalah pengalaman terkeren dalam hidupku. Terlebih lagi, kabut masih mengelilingi tempat ini. Aku benar-benar seperti sedang diatas awan. Sekarang aku mengerti bagaimana perasaan teman-temanku yang suka naik gunung. Dengan perjuangan berat dari bawah dan harus terus menanjak, tapi setelah sampai atas, lelahnya terbayar semua! Rasa puas mengelilingi benakku. Aku masih berkeringat. Namun tiba-tiba Dewi menyeka keringatku dengan handuk kecil yang sedari tadi ia bawa. Aromanya harum. Dadaku berdesir. Ia terus menyekanya sampai seluruh peluh hilang dari wajah dan leherku. Aku terpana. Seketika pipinya bersemu merah, rambutnya yang diikat seperti kuncir buntut kuda bergoyang-goyang tertiup angin gunung. Ia terlihat cantik sekali.
"Sori.." Ia salah tingkah. Sepertinya ia terbawa suasana.
"Gakpapa kok, aku malah seneng. Eh tapi, kok kamu sendirian kesini? Ada masalah sama pacar?" tanyaku ingin tau.
"Aku udah putus" jawabnya singkat.
(bersambung ke Part Terakhir bisa klik disini)
mentari mulai menyengat,membakar embun pucuk daun teh,
BalasHapusseperti itukah perasaan Bima kini?setelah menemukn jawaban dr Dewi...